Kata Kuningan telah disinggung dalam Carita Parahyangan,kuat dugaan jauh sebelum memasuki masa sejarah,telah ada kehidupan manusia di wilayah Kuningan.Hal ini diperkuat dengan berbagai temuan artefak di beberapa wilayah Kuningan.Temuan artefak masa prasejarah ini salah satunya ditemukan di wilayah Cipari,menurut berbagai literatur aretefak dikawasan Cipari berasal dari 3500 tahun sebelum masehi.Di masa sejarah Kuningan mengalami beberapa periode mulai dari periode Hindu,hingga akhirnya periode kerjaan Islam.Kuningan erat hubungannya dengan kemajuan kerajaan Islam Cirebon,terutama setelah Cirebon memisahkan diri dari kerajaan Pajajaran yang mayoritas beraliran Hindu. Perjalanan sejarah Kuningan yang sangat beragam menciptakan berbagai kearifan lokal terutama berhubungan dengan sistem kepercayaan masyarakat Sunda.Dalam sistem kepercayaan itu ada beberapa tradisi yang masih dipelihara hingga sekarang.Tradisi kawin cai adalah sebuah tradisi yang telah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Kuningan,masyarakat Kuningan terutama Desa Babakan Mulya, Kecamatan Jalaksana.Tradisi Kawin Cai merupakan sebuah kearifan lokal,tradisi ini merupakan salah satu bentuk permohonan kepada pemilik alam semesta agar menurunkan air hujan untuk mengairi lahan pertaniannya serta kebutuhan hidup lainnya, dilaksanakan apabila terjadi kemarau panjang atau sangat sulit untuk mendapat air. Prosesi Kawin Cai dimulai dari Proses ritual ini diawali oleh sesepuh Balong Dalem dan rombongan tetua untuk menjemput air di Sumur 7 Cikembulan Desa Manis Kidul.Setelah mengambil air dari Sumur 7 Cibulan, rombongan disambut di gerbang Balong Dalem.Selanjutnya, pelaksanaan Kawin Cai di mata air Balong Dalem Tirtayatra dilakukan di depan Batu Kawin oleh Ki Kuwu Balong beserta rombongan dengan cara mencampur air dari mata air Cikembulan dengan mata air Balong Dalem Tirtayatra.
Menurut masyarakat setempat ada legenda yang melatari terjadinya kawin cai di wilayah Babakan Mulya,konon kabarnya pada jaman dahulu kala ada seorang petapa dari Cibulan bernama Begawan Resi Makandria atau Sang Kebo Wulan di telaga Balong Dalem Tirtayatra. Begawan Resi Makandria dijodohkan oleh Rama Sang Resi Guru Manikmaya dengan putrinya yang bernama Pwah Aksari Jabung.Akan tetapi, karena Pwah Aksari Jabung adalah seorang bidadari yang sangat cantik, Begawan Resi Makandria tak sampai hati menerima Pwah Aksari Jabung sebagai istrinya. Akhirnya, Pwah Aksari Jabung menjelma menjadi kijang betina dan Resi Makandria menjelma menjadi kebo bule dan terjadilah perkawinan di antara keduanya.Kemudian adik Pwah Aksari Jabung, yaitu Pwah Sanghyang Sri diperintah oleh Sang Resi Guru Manikmaya menitis menjadi bayi di dalam tubuh Pwah Aksari Jabung. Setelah itu, lahirlah bayi yang dinamakan Pwah Bungatak Mangaleale.Setelah dewasa, Pwah Bungatak Mangaleale dipersunting oleh Sang Wreti Kandayun yang mendirikan kerajaan Galuh (berdasarkan cerita parahyangan). Hal tersebutlah yang menandai terjadinya ritual Kawin Cai dengan menggabungkan sumber mata air dari Cibulan dan Balong Dalem Tirtayatra.
Menghargai alam salah satunya dengan cara menjaga kearifan lokal menjadi poin penting bagi kita dalam melestarikan alam melalui budaya.Makna yang bisa kita ambil dari tradisi kawin cai ialah sebuah bentuk rasa syukur budaya masyarakat agraris sunda yaitu salah satu budaya upacara adat yang mengandung potensi seni budaya masyarakat yang didasarkan pada adat istiadat kehidupan masyarakat Sunda sehari-hari.
0 Comments